Aksara Nusantara adalah istilah yang merujuk kepada berbagai sistem penulisan yang telah berkembang dan digunakan di wilayah Indonesia. Ini termasuk ragam aksara atau huruf yang digunakan untuk menulis dalam berbagai bahasa daerah di Indonesia, seperti Jawa, Bali, Batak, Lampung, dan Lontara. Meskipun demikian, penggunaan abjad Arab dan alfabet Latin juga cukup umum di Indonesia, terutama dalam konteks formal seperti pendidikan dan administrasi.
Sejarah Aksara Nusantara mencerminkan keberagaman budaya dan pengaruh-pengaruh yang beragam dari berbagai peradaban yang datang ke kepulauan Nusantara. Sebelum penyebaran Islam dan masa kolonialisasi, kebudayaan India memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan aksara di wilayah ini. Aksara Pallawa, misalnya, telah digunakan dalam banyak prasasti dan naskah kuno di Indonesia, seringkali dalam bahasa Sanskerta.
Media dan alat tulis yang digunakan untuk menulis Aksara Nusantara juga sangat bervariasi. Mulai dari prasasti yang diukir di batu, kayu, atau logam, hingga naskah yang ditulis di atas daun lontar, nipah, janur kelapa, dan bilah bambu. Bukti tertua penggunaan Aksara Nusantara dapat ditemukan dalam berbagai artefak arkeologi, seperti tujuh buah yupa yang ditemukan di Kalimantan Timur, yang bertuliskan prasasti mengenai upacara waprakeswara pada masa pemerintahan Mulawarmman, Raja Kutai.
Indonesia, dengan ratusan bahasa dan dialek yang berbeda, memiliki kekayaan luar biasa dalam hal aksara. Beberapa contoh penting dari Aksara Nusantara yang masih digunakan hingga saat ini meliputi:
Aksara Jawa:
Tulisan Jawa dan Bali merupakan hasil perkembangan modern dari aksara Kawi, yang merupakan salah satu turunan dari aksara Brahmi yang berkembang di Jawa. Pada masa periode Hindu-Buddha, aksara ini digunakan dalam literatur keagamaan dan terjemahan Sanskerta yang ditulis di atas daun lontar. Seiring berjalannya waktu, bentuk aksara Kawi secara perlahan berubah menjadi lebih kental dengan kebudayaan Jawa, meskipun tetap mempertahankan ejaan aslinya. Aksara Jawa, yang juga dikenal sebagai Hanacaraka dan Carakan, merupakan bagian integral dari warisan budaya Nusantara yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa serta beberapa bahasa daerah di Indonesia, termasuk bahasa Sunda dan bahasa Sasak. Hubungan erat antara aksara Jawa dan aksara Bali dapat dilihat dari kemiripan bentuk dan pola tulisannya. Di lingkungan keraton dan istana, khususnya di Surakarta dan Yogyakarta, aksara Jawa seringkali digunakan untuk menulis berbagai jenis naskah, mulai dari cerita (serat), catatan sejarah (babad), tembang kuno (kakawin), hingga ramalan (primbon). Naskah-naskah ini sering dihias dengan berbagai elemen dekoratif, seperti tanda baca yang ditonjolkan atau pigura halaman (wadana) yang rumit dengan berbagai warna yang menarik. Hal ini menambah nilai estetika dan keindahan pada naskah-naskah tersebut.
( Aksara Jawa, Foto : wikimedia.org )Aksara Bali:
Aksara Bali merupakan salah satu sistem tulisan tradisional Nusantara yang berkembang di Pulau Bali, Indonesia. Aksara ini umumnya digunakan untuk menulis dalam bahasa Bali dan bahasa Sanskerta. Dengan sedikit modifikasi, aksara ini juga diterapkan untuk menulis bahasa Sasak yang digunakan di Pulau Lombok. Aksara Bali memiliki hubungan kekerabatan yang erat dengan aksara Jawa. Meskipun saat ini penggunaannya terbatas dalam lingkup yang terbatas, aksara Bali masih diajarkan di sekolah-sekolah di Bali sebagai bagian dari kurikulum lokal. Sistem tulisan ini terdiri dari 47 huruf dan dapat juga digunakan untuk menulis dalam bahasa Sanskerta dan Kawi, namun tetap disusun dan dibaca sesuai dengan ejaan Bali yang khas.
Aksara Batak:
Aksara Batak, yang juga dikenal sebagai Surat Batak, merupakan sistem tulisan yang digunakan untuk menuliskan berbagai bahasa Batak, termasuk bahasa Angkola-Mandailing, Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, dan Toba. Sistem tulisan ini memiliki beberapa varian bentuk, yang berbeda-beda tergantung pada bahasa dan wilayah penggunaannya. Secara garis besar, terdapat lima varian Surat Batak yang digunakan di Sumatra, yaitu Angkola-Mandailing, Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, dan Toba. Penggunaan Aksara Batak sangatlah penting bagi para datu, yang merupakan tokoh yang sangat dihormati dalam masyarakat Batak karena keahlian mereka dalam ilmu sihir, ramalan, dan penanggalan. Saat ini, Surat Batak masih dapat ditemui dalam berbagai pustaha, yaitu kitab tradisional yang digunakan oleh masyarakat Batak.
Aksara Lampung:
Aksara Lampung memiliki keterkaitan dengan aksara Pallawa yang berasal dari India Selatan. Jenis tulisannya bersifat fonetik dengan aturan suku kata, yang menyerupai sistem tulisan huruf Arab. Dalam penyusunan huruf, tanda fathah ditempatkan di atas baris huruf, tanda kasrah ditempatkan di bawahnya, sedangkan tanda dammah tidak diletakkan di baris depan, melainkan di bagian belakang. Setiap tanda memiliki nama tersendiri. Legenda mencatat bahwa pada masa lampau, wanita asli Lampung memiliki keahlian khusus dalam memikat lawan jenis dengan menggunakan mantra-mantra pengasih yang diukir di atas media kulit kayu. Aksara Lampung digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk menulis surat, dokumen hukum, surat resmi untuk mengesahkan hak kepemilikan tanah tradisional, mantra, sihir, upacara ritual, petuah, persyaratan menjadi pemimpin, resep obat-obatan, dan syair mistik Islam. Bahkan, terdapat pula syair percintaan yang dikenal sebagai bandung atau hiwang. Media penulisan tidak hanya terbatas pada kulit kayu, tetapi juga menggunakan bilah bambu, daun lontar, dalung (kepingan logam), kulit hewan, tanduk kerbau, dan batu. Syair percintaan yang berbentuk dialog ditulis pada keping atau lembar bambu yang disebut gelumpai, diikat bersama dengan tali melalui lubang di salah satu ujungnya, dan diberi nomor sesuai urutan abjad. Ada juga yang menuliskannya pada tabung bambu dan lipatan kulit kayu.
Aksara Lontara:
Lontara merupakan sistem tulisan tradisional yang digunakan oleh masyarakat Bugis-Makassar. Bentuk aksara lontara menurut penelitian dari budayawan Profesor Mattulada berasal dari konsep "sulapa eppa wala suji". Wala suji diambil dari kata "wala", yang berarti pemisah, pagar, atau penjaga, dan "suji" yang mengacu pada istilah putri. Dalam konteks ini, wala suji menggambarkan sebuah pagar bambu yang digunakan dalam upacara ritual, yang berbentuk mirip dengan belah ketupat. Sementara itu, sulapa eppa (empat sisi) mencerminkan konsep mistis dalam kepercayaan klasik Bugis-Makassar yang melambangkan susunan alam semesta, yaitu api, air, angin, dan tanah. Huruf-huruf dalam aksara lontara umumnya digunakan untuk menuliskan aturan pemerintahan dan norma sosial masyarakat. Naskah-naskah biasanya ditulis di atas daun lontar menggunakan lidi atau kalam yang terbuat dari ijuk kasar. Lontara merupakan perkembangan dari tulisan Kawi yang telah digunakan di kepulauan Nusantara pada sekitar abad ke-9. Namun, belum ada kepastian apakah Lontara merupakan turunan langsung dari Kawi atau dari sistem tulisan Kawi yang lain, karena bukti yang terbatas. Meskipun ada teori yang menyebutkan bahwa Lontara berdasarkan tulisan Rejang di Sumatra Selatan karena adanya kesamaan grafis antara keduanya, namun hal ini belum terbukti sepenuhnya karena beberapa huruf Lontara dianggap sebagai perkembangan yang lebih baru.
Indonesia saat ini memiliki 746 bahasa yang beragam, dengan sistem tulisan yang berbeda-beda. Jumlah ini terus bertambah seiring dengan penelitian yang terus dilakukan. Kekayaan bahasa dan sistem tulisan di Indonesia bukan hanya sebagai catatan jumlah yang mengesankan, tetapi juga sebagai pengingat akan pentingnya mencintai dan melestarikan warisan budaya Indonesia, terutama di masa kini yang penuh tantangan.Keberadaan dan keberagaman Aksara Nusantara menjadi bukti yang membanggakan akan kekayaan budaya Indonesia. Seiring dengan perkembangan zaman, penting untuk terus melestarikan dan mempelajari warisan budaya ini agar tidak hilang begitu saja. Melalui pemahaman dan penghormatan terhadap Aksara Nusantara, kita dapat menjaga dan memperkaya identitas budaya Indonesia untuk generasi yang akan datang.
Refrensi
- Ann Kumar; John H. McGlynn, ed. (1996). Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Lontar Foundation.
- Behrend, T E (1996). "Textual Gateways: the Javanese Manuscript Tradition". Dalam Ann Kumar; John H. McGlynn. Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Lontar Foundation.
- Casparis, J G de (1975). Indonesian Palaeography: A History of Writing in Indonesia from the Beginnings to C. A.D. 1500. 4. Brill.
- Hinzler, H I R (1993). "Balinese palm-leaf manuscripts". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 149 (3). doi:10.1163/22134379-90003116.
- Holle, K F (1882). "Tabel van oud-en nieuw-Indische alphabetten" (PDF). Bijdrage tot de palaeographie van Nederlandsch-Indie. Batavia: W. Bruining. OCLC 220137657.
- Jukes, Anthony (2014). "Writing and Reading Makassarese". International Workshop of Endangered Scripts of Island Southeast Asia: Proceedings (dalam bahasa Inggris). LingDy2 Project, Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa, Tokyo University of Foreign Studies.
- Kozok, Uli (1996). "Bark, Bones, and Bamboo: Batak Traditions of Sumatra". Dalam Ann Kumar; John H. McGlynn. Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Lontar Foundation.
- Meij, Dick van der (1996). "Outpost of Traditions: the Island of Lombok". Dalam Ann Kumar; John H. McGlynn. Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Lontar Foundation.
- Moriyama, Mikihiro (Juni 1996). "Discovering the 'Language' and the 'Literature' of West Java: An Introduction to the Formation of Sundanese Writing in 19th Century West Java" (PDF). Southeast Asian Studies. 34 (1): 151–183.
- Noorduyn, Jacobus (1993). "Variation in the Bugis/Makasarese script". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. KITLV, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies. 149 (3): 533–570.
- Robson, Stuart Owen (2011). "Javanese script as cultural artifact: Historical background". RIMA: Review of Indonesian and Malaysian Affairs. 45 (1-2): 9-36.
- Rochkyatmo, Amir (1 Januari 1996). Pelestarian dan Modernisasi Aksara Daerah: Perkembangan Metode dan Teknis Menulis Aksara Jawa(PDF). Direktorat Jenderal Kebudayaan.
- Rubinstein, Raechelle (1996). "Leaves of Palm: Balinese Lontar". Dalam Ann Kumar; John H. McGlynn. Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Lontar Foundation.
- Suasta, I B Made (1996). Modernisasi dan Pelestarian Perkembangan Metode dan Teknik Penulisan Aksara Bali (PDF). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Tol, Roger (1996). "A Separate Empire: Writings of South Sulawesi". Dalam Ann Kumar; John H. McGlynn. Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Lontar Foundation.
- Wahab, Abdul (Oktober 2003). Masa Depan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah (PDF). Kongres Bahasa Indonesia VIII. Kelompok B, Ruang Rote. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Indonesia. hlm. 8-9.
(author: AMS)
0 Komentar