Pribumisasi Islam Gus Dur: Genealogi, Kontroversi, dan Implementasi Lokal

Get this image on: Pngtree | License details

Abdurahman Wahid-.Gagasan pribumisasi Islam, yang pertama kali diusulkan oleh Gus Dur pada tahun 1980-an, telah menjadi subjek perdebatan yang menarik di kalangan para intelektual baik tua maupun muda. Pribumisasi Islam membuka ruang untuk memahami bagaimana ajaran normatif Islam dapat diakomodasi ke dalam kebudayaan lokal tanpa kehilangan identitasnya. Ini menciptakan perdebatan yang melibatkan konsep-konsep seperti identitas, akulturasi budaya, dan hubungan antara agama dan budaya. Dalam tulisan ini, kita akan menjelajahi berbagai dimensi dari gagasan pribumisasi Islam, melihat konteks historisnya, dampaknya dalam masyarakat, serta tantangan dan progresnya seiring waktu. (Abdurrahman Wahid: 2001 hlm 11)

Pertama-tama, kita harus memahami bahwa gagasan pribumisasi Islam bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja, tetapi memiliki akar historis yang dalam. Gus Dur, seorang tokoh Islam di Indonesia, memperkenalkan konsep ini sebagai jawaban terhadap hegemoni budaya Arab yang telah lama mempengaruhi praktik keagamaan di Indonesia. Dia menekankan pentingnya mempertahankan identitas lokal sambil mengamalkan ajaran Islam. Ini merupakan reaksi terhadap arabisme yang cenderung mengaburkan keunikan budaya lokal. (Khamami Zada dkk: 2003)

Dalam konteks ini, pribumisasi Islam bukan hanya tentang menolak atau menghindari pengaruh budaya luar, tetapi juga tentang memperkuat dan mempertahankan budaya lokal. Ini memunculkan pertanyaan tentang bagaimana Islam dapat diwujudkan secara autentik dalam berbagai konteks budaya yang berbeda-beda. Sebagai contoh, di Indonesia, praktik-praktik keagamaan seringkali terintegrasi dengan adat dan tradisi lokal, seperti dalam upacara pernikahan dan ritual keagamaan lainnya. (Kuntowijoyo:1991, hlm 235)

Namun, pribumisasi Islam tidak hanya tentang mempertahankan kearifan lokal, tetapi juga tentang memperbarui dan menginterpretasikan ajaran Islam sesuai dengan kebutuhan dan konteks zaman. Hal ini mengarah pada konsep Islam pribumi sebagai jawaban terhadap Islam autentik atau purifikatif yang cenderung kaku dan tidak mampu beradaptasi dengan perubahan zaman. Dengan demikian, pribumisasi Islam menekankan fleksibilitas dan kontekstualitas dalam pemahaman dan praktik keagamaan. 

Salah satu aspek yang penting dari pribumisasi Islam adalah pengakuan terhadap keragaman interpretasi. Islam tidak lagi dipandang sebagai entitas tunggal yang monolitik, tetapi sebagai agama yang mampu menampung berbagai interpretasi dan praktik yang berbeda-beda. Ini membuka ruang bagi inovasi dan kreativitas dalam merespons perubahan sosial dan budaya.

Dalam konteks Indonesia, pribumisasi Islam juga mencerminkan upaya untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai lokal yang telah ada sebelumnya. Ini dapat dilihat dalam praktik dakwah para Wali Songo yang berhasil menyebarkan Islam di Nusantara tanpa merusak budaya lokal. Para Wali Songo menggunakan pendekatan yang inklusif dan adaptif, sehingga Islam dapat diterima oleh masyarakat setempat tanpa menimbulkan konflik atau resistensi. (Ahmad Baso:2006, hlm 284)

Namun, upaya pribumisasi Islam juga menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah pengaruh arabisme yang masih cukup kuat di kalangan umat Islam. Banyak yang masih percaya bahwa Islam yang "murni" hanya bisa ditemukan di Timur Tengah, sehingga upaya untuk mempraktikkan Islam secara lokal seringkali dianggap sebagai bid'ah atau penyimpangan. Selain itu, ada juga tantangan dalam membangun kesadaran akan pentingnya pribumisasi Islam di kalangan umat Islam sendiri. Banyak yang masih memandang Islam secara sempit dan kaku, sehingga sulit bagi mereka untuk menerima konsep pribumisasi yang menekankan fleksibilitas dan kontekstualitas.

Namun demikian, pribumisasi Islam tetap menjadi sebuah gagasan yang relevan dan penting dalam konteks Indonesia dan masyarakat Muslim di seluruh dunia. Ini adalah upaya untuk menghadapi tantangan zaman dengan cara yang inklusif dan adaptif, tanpa kehilangan identitas dan nilai-nilai yang mendasar. Dengan terus mengembangkan dan memperkuat konsep pribumisasi Islam, kita dapat membangun masyarakat yang lebih inklusif, toleran, dan berdampingan dalam keragaman budaya dan kepercayaan.

Daftar Acuan 

Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Jakarta: Desantara, 2001)
Khamami Zada dkk., “Islam Pribumi: Mencari Wajah Islam Indonesia” , dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No. 14 (Jakarta: Lakpesdam, 2003), 9-10
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991)
Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran aatara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal (Jakarta: Erlangga, 2006)

(Author: AMS)


Posting Komentar

0 Komentar