Bagi mereka yang masih meragukan eksistensi Islam Nusantara, membaca karya-karya dalam bahasa Jawi dan Pegon bisa memberikan pencerahan yang penting. Kedua istilah ini, meskipun seringkali disamakan, memiliki perbedaan mendasar. Jawi merujuk pada bahasa Melayu yang ditulis dalam aksara Arab, sementara Pegon mencakup bahasa Jawa dan Sunda dalam aksara yang sama. Dengan demikian, kitab Jawi adalah karya yang menggunakan bahasa Melayu dan ditulis dengan aksara Arab, sementara kitab Pegon menggunakan bahasa Jawa dan Sunda.
Karya-karya ulama Nusantara yang terdokumentasi dalam kitab-kitab Jawi dan Pegon memiliki jumlah yang sangat besar dan merupakan bagian tak terpisahkan dari warisan intelektual Islam Nusantara. Kitab-kitab Jawi sudah ada sejak setidaknya abad ke-17. Tokoh-tokoh penting seperti Nuruddin al-Raniri (w.1658) dan Abdurrauf Singkel (w.1693) adalah beberapa di antaranya. Keduanya merupakan figur penting dalam Kesultanan Aceh dan menduduki posisi penting dalam urusan agama, Syakh al-Islam. Meskipun mereka hidup pada masa yang berbeda, karya-karya mereka yang berbentuk tulisan Jawi menggambarkan dukungan mereka terhadap perempuan sebagai pemimpin kerajaan.
Meski terusir dari Aceh karena konflik dengan para pengikut Syamsudin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri tetap menjadi pendukung utama dalam penobatan Safiyat al-Din sebagai Sultanah pertama di Aceh. Dukungannya ini tercatat dalam karyanya yang terkenal, "Bus-tan al-Salatin". Demikian juga dengan Abdurrauf, yang menjadi tokoh penting di balik keberhasilan empat Sultanah berturut-turut memimpin Kesultanan Aceh. Berbagai upaya untuk meruntuhkan kepemimpinan mereka ditentang keras oleh Abdurrauf, yang menolak argumen bahwa perempuan tidak pantas memimpin, seperti yang terdokumentasi dalam karyanya, "Mir’at al-Tullab".
Pemikiran keagamaan dari kedua ulama ini, yang tertuang dalam karya-karya Jawi mereka, mencerminkan secara konkret konsep Islam Nusantara. Selain mereka, masih banyak tokoh lain dari Nusantara yang menulis dalam bahasa Jawi. Contohnya adalah Abd al-Samad al-Falimbani (w. 1789) dengan karya-karyanya seperti "Sayr al-Salikin", dan Arsyad al-Banjari (w. 1812) dengan karya terkenalnya, "Sabil al-Muhtadin".
Di sisi lain, di Jawa, Pegon digunakan sebagai media untuk menulis sejak abad ke-17. Hal ini terbukti dengan adanya manuskrip Mukhtashar Bafadhal yang diyakini ditulis pada periode tersebut dan kini disimpan di The British Library. Meskipun kitab Pegon sebagai karya lokal tidak ditemukan hingga abad ke-19, Kiyai Ahmad Rifai Kalisalak (w. 1870) diakui sebagai penulis pertama kitab Pegon.
Kemudian, muncul Kiyai Salih ibn Umar al-Samarani, yang lebih dikenal sebagai Kiyai Soleh Darat (w. 1903), seorang ulama yang berperan penting dalam mengubah sikap keagamaan RA Kartini. Dia juga dianggap sebagai guru dari dua tokoh pendiri ormas Islam terbesar di Indonesia, yaitu Kiyai Hasyim Asy’ari dan Kiyai Ahmad Dahlan. Ahmad Rifai menulis berbagai bidang keagamaan, hampir semuanya dalam bentuk syair, sementara Soleh Darat menekankan pengajaran praktis tentang ibadah dan perbaikan akhlak dalam masyarakat Jawa.
Dalam karya-karyanya yang berbentuk prosa, Soleh Darat mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat yang membutuhkan. Sebagian besar masyarakat Jawa hanya memahami bahasa Jawa, oleh karena itu, dia menulis kitab-kitabnya dalam bahasa tersebut. Ekspresi dalam karyanya mencerminkan konsep-konsep Islam yang diungkapkan dalam bahasa Arab, namun disampaikan dalam bahasa Jawa dengan istilah-istilah seperti ngalap berkah, selametan, dan ngirim donga, yang terdapat dalam kitab seperti Majmu’at al-Syari’ah al-Kafiyah li al-‘Awam.
Melalui telaah kembali terhadap karya-karya Jawi dan Pegon, kita dapat melihat banyaknya konsep, ekspresi, adat, dan kebiasaan khas Nusantara yang telah menjadi bagian dari khazanah peradaban Islam. Adopsi ini dilakukan tanpa melanggar prinsip-prinsip dasar ortodoksi Islam. Para penulisnya adalah ulama yang mendalami ilmu agama setelah belajar dari berbagai tokoh, baik di Nusantara maupun di jazirah Arab. Proses ini tidak mencerminkan semangat anti-Arab, sebagaimana dituduhkan oleh beberapa pihak yang menolak konsep Islam Nusantara. Bahkan, huruf Arab dipilih sebagai medium untuk menulis karya-karya ini.
Tulisan ini menggambarkan pentingnya karya-karya dalam bahasa Jawi dan Pegon dalam memahami Islam Nusantara. Penulis menyoroti perbedaan antara Jawi dan Pegon, serta menekankan bahwa kedua istilah tersebut mencerminkan kekayaan intelektual yang khas dari Indonesia. Melalui telaah terhadap karya-karya dalam bahasa tersebut, penulis menggambarkan bagaimana ulama-ulama Nusantara, seperti Nuruddin al-Raniri dan Abdurrauf Singkel, menyumbangkan pemikiran-pemikiran yang mendalam tentang Islam Nusantara, termasuk dukungan terhadap perempuan sebagai pemimpin.
Dalam konteks Jawa, penulis juga menyoroti pentingnya karya-karya dalam bahasa Pegon, yang juga menyumbang dalam memperkaya pemahaman tentang Islam lokal. Kiyai Ahmad Rifai Kalisalak dan Kiyai Soleh Darat adalah dua tokoh yang disorot dalam hal ini, dengan kontribusi mereka yang mencakup berbagai aspek keagamaan serta penekanan pada praktik kehidupan sehari-hari.
Penulis menekankan bahwa adopsi konsep-konsep, ekspresi, adat, dan kebiasaan khas Nusantara ke dalam khazanah peradaban Islam dilakukan oleh ulama-ulama yang mendalami ilmu agama dengan cermat, tanpa melanggar prinsip-prinsip dasar ortodoksi Islam. Proses ini, menurut penulis, bukanlah manifestasi semangat anti-Arab, melainkan sebuah upaya untuk memperkaya pemahaman tentang Islam dengan konteks lokal.
Secara keseluruhan, tulisan ini mengajak pembaca untuk mengapresiasi dan mempelajari warisan intelektual dalam bahasa Jawi dan Pegon sebagai bagian integral dari identitas keislaman Indonesia. Dengan menyoroti karya-karya ulama dan pemikir Nusantara, penulis mendorong pembaca untuk melihat Islam Nusantara sebagai sebuah entitas yang kaya dan beragam, serta relevan dalam konteks zaman yang terus berkembang.
daftar acuan
Karya Saiful Umam (Direktur Eksekutif PPIM UIN Jakarta) dimuat dalam kolom opini Koran TEMPO, pada Selasa, 28 Juli 2015.
0 Komentar